Politik Balas Budi dan Harga Kursi

 

Dalam konteks ideal, demokrasi meninggikan peran-serta dan kepentingan masyarakat. Dan reformasi merupakan tonggak mencairnya praktek monopoli di segala lini kehidupan, terkait tata kelola pemerintahan. 

Mulai tingkat pusat hingga daerah, penerapan demokrasi berbasis peran-serta demi kepentingan masyarakat menemui rintangan masing-masing. Dan yang lebih terasa (langsung dirasakan dampaknya) adalah rintangan penerapan iklim demokratis di tingkat bawah, yakni desa. 

Jujur, diakui atau tidak, praktek "politik balas budi" masih kental berlaku di banyak desa di Indonesia. Sebut saja, seorang kepala desa besar kemungkinan akan mengutamakan pendukungnya (saat pemilihan) untuk menduduki posisi penting (perangkat desa) saat menjabat. 

Ada balas budi yang harus dibayar, boleh jadi karena telah ada janji sebelumnya. Ini adalah konsekwensi logis yang merusak iklim demokrasi yang meninggikan etika dan kompetensi. 

Dampak lanjutannya, ibarat dua sisi mata uang, politik balas budi selalu beriringan dengan "jual-beli jabatan". Parahnya lagi, praktek jual beli jabatan berdalih "uang syukuran, uang pelicin, uang jadi" atau apapun namanya seolah telah biasa terjadi.

Di tingkat bawah, seorang kepala desa bahkan camat, --dan mungkin bupati-- seakan tak berkutik menghadapi praktek buruk ini. Terbukti, berapa banyak bupati, camat, kades, menghuni terali besi akibat praktek politik balas budi dan jual beli kursi.

Jika budaya jual beli kursi dalam konteks balas budi terus terjadi, sejatinya kita sedang menggali "lubang kubur" kita sendiri. 

Bagaimana dengan desa Anda? (artikel ini ditulis Cucuk Espe, pecinta kopi dari Morosunggingan).

#politikbalasbudi #moneypolitic #morosunggingan

Posting Komentar

0 Komentar